Rabu, 04 Desember 2024 07:03 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Penyerahan penghargaan oleh Dekan FISIP UMM kepada para narasumber SIBI 2024 (Foto: Hafis)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM mengadakan Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) 2024 diikuti oleh peserta yang berasal dari berbagai benua. Lebih dari 80 peserta yang berasal benua asia, afrika dan asutralia. Pada tahun ini, Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) mengangkat tema “Glokalisasi sebagai Peluang dan Tantangan dalam Sosial Politik Kontemporer” untuk menjadi topik utama dalam bahasannya.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM mengadakan Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) 2024 yang menghadirkan pembicara dari Universitas yang ada di Indonesia maupun yang ada di Luar Negeri. Ada empat pembicara yang berasal dari Makassar serta tiga sisanya berasal dari California, Malaysia dan Melbourne, Afrika. Pada tahun ini, Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) mengangkat tema “Glokalisasi sebagai Peluang dan Tantangan dalam Sosial Politik Kontemporer” untuk menjadi topik utama dalam bahasannya. Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) merupakan ajang untuk mengglobalisasikan bahasa Indonesia dan memperkenalkan budaya Indonesia. Pembicara-pembicara dari dalam negeri maupun luar negeri turut diundang untuk memberikan insight baru.
Mohammad Bosha S.Si, M.P asal University of Africa sebagai pembicara pertama pada SIBI 2024 yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini menyampaikan pengalaman pribadinya dalam menghadapi stereotip yang ada selama tinggal di Indonesia. Mohammad Bosha S.Si, M.P menyampaikan banyaknya stereotip yang muncul di Indonesia tentang orang Afrika, mulai dari Afrika adalah satu negara padahal terdiri dari empat sampai lima negara. “Semua orang mikir bahwa Afrika itu one country satu negara tapi Afrika itu hampir terdiri dari empat hingga lima negara,” ujarnya. Mohammad Bosha juga selalu mendoronng teman-teman Internasional di Malang untuk bisa berinteraksi dengan sosial. Mohammad Bosha menganggap sosial adalah hal penting sehingga ia banyak berkolaborasi dengan sosial komunitas di Malang dengan menghadiri acara-acara tersebut Mohammad Bosha bisa mempresentasikan budayanya dan di waktu yang sama ia bisa mempresentasikan budaya lokal. Sebagai penutup Muhammad Bosha memperjelas bahwa untuk menghapuskan stereotip perlu adanya memperkaya pemahaman budaya.
Tak kalah menarik dengan kajian budaya tentang stereotip yang disampaikan oleh Mohammad Bosha S.Si, M.P. Annisa R. Beta, Ph.D dari University of Melbourne yang mengisi SIBI secara daring, menyampaikan mengenai perempuan muda pada platform media sosial. Annisa R. Beta, Ph.D menyampaikan ketika seseorang memikirkan identitas kaum muda, khususnya perempuan muda secara online, penting adanya keterbukaan terhadap berbagai perbedaan, ambiguitas, dan kontradiksi. “Ketika kita memikirkan identitas kaum muda khususnya perempuan muda secara online kita harus terbuka dengan segala macam perbedaan, ambiguitas, kontradiksi jadi jangan mengexpect suatu identitas yang koheren,” ungkapnya.
Pada akhir diskusinya ia menuturkan harapannya para akademisi dan para peneliti yang tertarik meneliti budaya digital dan politik terkait gender salah satunya perlu adanya memperhatikan sejarah budaya dan konteks sosial politik. “Saya berharap para akademisi, teman-teman peneliti yang ada di sini yang tertarik meneliti budaya digital dan politik terkait gender untuk pertama-tama memperhatikan dengan secara seksama sejarah budaya dan konteks sosial politik tertentu yang secara aktif,” ujarnya. Selain Annisa R. Beta, Grady Ryan Mitchell M.Li asal California State University San Marcos, menyampaikan bagaimana prinsip-prinsip demokrasi dalam konteks glokalisasi contohnya perbedaan kampanye yang ada di Amerika dan Indonesia dan melihat adanya perubahan gaya kampanye khususnya pada Pilpres tahun 2019 dengan tahun 2024.
Sejalan dengan hal tersebut Dr. Sudirman Karnay, M.Si dari Universitas Hasanuddin Makassar yang menjelaskan pernikahan keluarga bangsawan Bugis Makassar. Ia mengungkapkan bahwa prosesi pernikahan keluarga bangsawan di Kabupaten Wajo tidak hanya merupakan ritual yang kaya akan simbolisme, tetapi serat akan makna. “Prosesi pernikahan keluarga bangsawan di Kabupaten Wajo tidak hanya merupakan ritual yang kaya akan simbolisme, tetapi juga mencerminkan dinamika interaksi budaya yang kompleks melalui perspektif glokalisasi dan hibriditas.” ujarnya. Sehingga dalam penelitianya menegaskan pentingnya melestarikan dan mendalami makna simbolik dalam budaya pernikahan Bugis sebagai bagian dari identitas sosial dan warisan budaya. Di dalam rangkaian seminar ini menjadi wadah para akademisi untuk mengungkapkan pemikiran dan gagasan berkaitan dengan penelitian. Terlaksananya Seminar Internasional Berbahasa Indonesia (SIBI) 2024, menjadi peluang terjadinya pertukaran informasi secara teknis dan substansial. (mzl/fra)