Jumat siang (20/11), outdoor meeting space FISIP di GKB 1 lantai 6 tampak semarak. Sejumlah dosen muda menghadiri diskusi inspirasi yang digelar oleh fakultas. Cak Tarno, pendiri Cak Tarno Institute, seorang pedagang buku di dekat Stasiun UI diundang untuk memberi motivasi pada para dosen muda. Ia bukan sekedar pedagang buku biasa. Meskipun hanya lulusan SMP, Cak Tarno adalah sosok yang membuka diri pada ilmu pengetahuan, khususnya kajian berbasis sosial humaniora.
Suasana Diskusi Inspirasi di GKB 1 lantai 6 FISIP UMM (foto;humas)
Lahir dari keluarga buruh tani di Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur, tidak pernah membuat Cak Tarno minder. Meskipun hanya lulus SMP, ia tidak pernah merasa terbatas untuk mengenal luasnya dunia ilmu pengetahuan. Melalui buku yang ia jual dan baca, ia fasih menjelaskan teori-teori kritis dari Mazhab Frankfurt; konsep public sphere Jurgen Habermas, fenomenologi dari Comte, Filsafat Proses dari Alfred North Whitehead, sejarah umat manusia dari Arnold Toynbee, hingga teori tindakan komunikatif dari Habermas. “Tidak semua buku saya baca sampai habis. Sebagaian saya kenali dari indeks dan pengantar, karena saya memang menjual buku-buku itu,”ungkap Cak Tarno. Salah satu trik yang ia lakukan agar mengetahui apa isi buku yang ia jual adalah dengan mengoleksi rubrik resensi salah satu media ternama di Indonesia. “Saya sampai punya koleksi Pustakaloka nya Tempo sebanyak tiga kardus,”imbuhnya.
Motivasi Cak Tarno untuk menggeluti ilmu berawal dari pergumulannya dengan buku-buku yang ia jual dan ia baca, salah satunya adalah buku-buku filsuf Italia, Antonio Gramsci. “Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua menjalankan fungsinya sebagai intelektual,”ujarnya menyitir pernyataan Gramsci. Bagaimana intelektualitas seseorang bisa membuat gerakan atau menggerakkan lingkungan di sekitarnya, itulah sebenarnya yang diharapkan oleh Gramsci.
Cak Tarno juga mendirikan Cak Tarno Institute(CTI). Institut ini tentu bukanlah institut dalam arti sebenarnya. CTI berawal dari meja di kios Cak Tarno yang selalu dipenuhi orang-orang yang ingin berdiskusi. Kios buku Cak Tarno menjadi tempat yang nyaman bagi mahasiswa untuk berdiskusi, bahkan menjadi arena uji coba presentasi mahasiswa sebelum mempresentasikan tugasnya. Cak Tarno ada dalam lingkaran diskusi itu. Ia larut di dalamnya. Komunikasi yang terbuka itu pula yang membuat kios Cak Tarno menjadi ruang terbuka untuk berdiskusi. Itulah awal lahirnya kelompok diskusi yang oleh beberapa orang disebut sebagai Cak Tarno Institute (CTI).
Nama Cak Tarno dan Cak Tarno Institute makin berkibar pasca ia diprofilkan di Kompas. Ada satu hal yang menarik ia alami pasca ia diprofilkan, pernyataannya tentang konsep ruang kosong memantik perdebatan. Banyak orang menanyakan makna kalimat memaknai masa depan adalah ruang kosong terserah nanti mau diisi apa, yang ia ungkapkan saat diwawancara Kompas. Ucapan Cak Tarno itu bahkan memantik perdebatan di antara para guru besar filsafat Universitas Indonesia. “Saya disuruh untuk menghadap ke fakultas filsafat untuk menemui para guru besar itu untuk menanyakan apa maksud masa depan adalah ruang kosong. Menurut saya masa depan itu adalah sebuah ruang kosong, ruang kosong adalah ruang waktu,”jelasnya. Sedangkan ruang lampau adalah masa yang sudah diisi oleh pengalaman-pengalaman hidup. Ruang lampau itu adalah kala dia menjadi petani, kuli batu, dan pedagang buku eceran. Baginya masa depan adalah ruang kosong berisi ruang waktu yang harus diisi dengan kebermanfaatan. Ruang kosong itu semakin diisi maka semakin kosong, karena semakin banyak membaca sejatinya kita akan merasa diri kita ternyata tidak tahu apa-apa. Filosofi menarik ini yang kemudian ia jelaskan di hadapan para guru besar filsafat yang “menyidangnya” kala itu.
Dekan FISIP, Dr.Rinikso Kartono, M.Si, mengatakan kehadiran Cak Tarno dalam diskusi inspirasi ini bukan bermaksud untuk menggurui para dosen muda. “Melalui diskusi inspirasi ini, saya ingin memotivasi apakah dosen sudah memiliki kecintaan dalam membaca buku dan menguatkan literasi,”ujar dekan FISIP. Sebagai insan akademik, dosen sejatinya memiliki tanggung jawab untuk menjadi garda terdepan literasi. (wnd)