Kamis, 22 Desember 2022 02:39 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Politik identitas merupakan salah satu ancaman serius dalam demorasi indonesia. Hal tersebut dibahas secara mendalam dalam Diskusi Akhir Tahun FISIP UMM dengan tema “Politik Identitas Dalam Pemilu 2024: Tantangan Masa Depan Demokrasi Indonesia” Adapun yang menjadi pembicara adalah Dr. Asep Nurjaman, M.Si (Ilmu Pemerintahan UMM), Vidiayandika Djati Perkasa (Peneliti Senior CSIS) dan Dr. Farid Rusman, M.Si (Ilmu Komunikasi UMM).
Kegiatan yang dImoderatori oleh Widiya Yutanti, M.A. (Hons) menampilkan Vidiayandika Djati Perkasa sebagai pembicara pertama. Vidiayandika mengambil judul “Dekonstruksi Politik Identitas, Konflik dan Perlindungan Warga Sipil”. Secara komprehensif ia menganalisis politik identitas di Papua. Di awal penjelasnya Vidiandika mengatakan bahwa politik identitas cenderung marak di masa pilkada/pemilu dan mereda setelah itu karena batas antara politik identitas dan politik transaksional sangatlah tipis. Politik identitas cenderung hanya dipahami sebagai bentuk ‘power struggle’ melalui penonjolan atribut tertentu dab bersifat cair (fluid). Motivasi utama adalah memperebutkan pengaruh dan kekuasaan penguasaan sumber daya ekonomi, politik dan sosio-kultural (relasi kuasa) (attach vs detachment) (2). Dalam konteks papua memahai format-format politik identitas sangat menarik mengingat semangat pemisahan yang tinggi (ingin merdeka) dari masyarakat Papua merupakan bagian dari politik identitas.
Para pembicara bersama moderator saat pelaksanaan Diskusi Akhir Tahun FISIP UMM. (Foto:Udin)
“kekerasan dan pelanggaran HAM dipapua yang masiv dan dilakukan oleh negara secara bertahun-tahun menimbulkan kebangkitan perjuangan politik identitas di papua. Melakukan perlawanan terhadap xenophobic termasuk didalamnya rasisme yang dilakukan masyarakat papua adalah upaya untuk membela identitas kepapuan mereka. Bagi mereka nasionalisme papua sebagai bentuk perjuangan berbasiskan identitas politik salah satunya dengan meminta kemerdakaan, “ungkap Vidiayandika.
Untuk menyelesaikan hal tersebut dalam pandangan Vidiayandika negara perlu melakukan beberapa hal. Pertama, Negara perlu mengatasi kurangnya pemahaman aparat keamanan tentang hak asasi manusia. Kedua, negara perlu menangani impunitas de facto petugas keamanan yang kesalahannya menyebabkan kematian warga sipil dan/atau pelanggaran massal hak-hak warga sipil. Ketiga, negara perlu meningkatkan SDM terampil dan alokasi anggaran untuk unit-unit yang langsung menangani pencegahan konflik. Keempat, Organisasi masyarakat sipil perlu memberdayakan strategi lokal yang ada yang telah dirancang oleh komunitas rentan untuk melindungi diri mereka sendiri selama konflik
Sebagai pembicara kedua Farid Rusman menyoroti olitik Identitas dalam erspektif komunikasi. Dengan mengambil judul “Politik Identitas, Arti dan Implikasi”, Farid meliat penggunaan politik identitas sebagai strategi politik yang fokus pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utama. Politik identitas mengacu pada subset politik di mana kelompok dengan identitas ras, agama, etnis atau subkultur yang sama mempromosikan kepentingan khusus mereka. Politik identitas bisa memunculkan toleransi dan kebebasan, namun sebaliknya bisa memicu pola-pola intoleransi, kekerasan dan konflik antar etnik, agama dan aliran (agama) dalam masyarakat.Politik identitas bisa dipakai untuk promosikan kelompoknya, bisa untuk serang kelompok lain.
Lebih Jauh Farid mengaitkan Politik Identitas dalam Perspektif Komunikasi. Bagi Farid politik identitas adalah upaya mempromosikan kelompoknya, maupun dalam menyerang kelompok lain (lawan), dilaksanakan melalui komunikasi untuk memenangkan pertarungan. Dalam mempromosikan kelompoknya, konten pesan identitasnya dalam komunikasi dibingkai, dibikin secara konotatif bersifat positif. Dalam menyerang kelompok lawan, konten pesan identitas kelompok lawan dalam komunikasi dibingkai, dibikin secara konotatif bersifat negatif. “dan media yang paling efektif sebagai saluran komunikasi tersebut adalah media sosial”,”tutup Farid.
Asep Nurjaman sebagai pembicara terakhir menyoroti secara khusus ada apa dengan politik identitas. Asep memprediksi dimasa yang akan datang saat era metaverse datang politik identitas akan melemah karena manusia sudah terkikis identitasnya. Doktor lulusan UGM Yogyakarta ini melihat politik identitas di Indonesia dalam dua sisi. Pertama, positif ketika politik identitas melahirkan semangat patriotism seperti terjadi saat era kemerdekaan. Kedua, negatif saat politik identitas melahirkan ketegangan politik karena polarisasi yang ekstrem di masyarakat khususnya pasca pemilu dilaksanakan pasca reformasi politik 1998.
“saat ini politik identitas di Indonesia cenderung merusak demokrasi karena dipaksanakan untuk menekan kelompok lain. Politik identitas itu orientasi akhirnya adalah sharing power sehingga wajar digunakan oleh elit politik meskipun itu kontraproduktif untuk masa depan demokrasi. Di pemilu 2024 politik identitas akan melemah jika kandidat presidenya minimal 3 pasangan. “kita juga tetap optimis politik identitas tidak berdampak luas karena NU dan Muhammadiyah tidak ikut-ikut dalam strategi politik buruk seperti itu, “tutup Asep.