Rabu, 05 Januari 2022 06:07 WIB    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

     Ibarat pepatah ‘mencari jarum dalam tumpukan jerami’, tampaknya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara, dewasa ini terasa utopis. Pasalnya, Indonesia yang terkenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam prakteknya berbanding terbalik, intoleransi terjadi di sana-sini. Islam pun menghadapi tantangan tersendiri dalam merespon keberagaman di Indonesia. Sebagai bagian dari upaya akademisi untuk berkontribusi dalam merespon problema tersebut, hari ini FISIP UMM melalui Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) menggelar Kajian Al Islam Kemuhammadiyahan (AIK). Kajian AIK hari ini (5/12) diadakan secara virtual dan mengusung tema Tantangan Islam dalam Multikulturalisme di Indonesia.

Prof. Dr. Ahmad Nadjib Burhani, M.A saat menjadi pemateri dalam Kajian AIK PKSP FISIP (foto by: subhan)

     Hadir sebagai pembicara pada kajian AIK kali ini adalah Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). Ia mengatakan dalam konteks keberagaman, tantangan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah bagaimana bisa berdampingan dengan perbedaan. “Di Muhammadiyah, konsep fastabiqul khoirot yakni berlomba-lomba melakukan kebaikan adalah konsep ideal dalam merespon perbedaan dan keberagaman. Bukan dengan cara membenci atau memusuhi yang berbeda dengan kita, namun menjadikan sebagai sebuah pemantik untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan,”ujar peraih Muhammadiyah Award 2021 Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

     Lebih lanjut, Nadjib juga menyitir lima surat dalam Al Quran yang umumnya dijadikan landasan dalam berelasi antar umat beragama. Kelima surat itu adalah Al Ankabut 29:46, Al Kafirun 109: 1-6, Al Maidah 5:48, Al Anbiya 21:107, dan Al Baqarah 2:120. Dalam surat Al Ankabut ayat 46 disebutkan bahwa ‘Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah,Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri’.

     Ayat tersebut menurut Nadjib dimaknai sebagai himbauan agar dalam melihat perbedaan, tidak perlu saling memusuhi dengan yang berbeda. Tapi justru harus merayakan perbedaan itu sebagai bagian dari rahmat Allah.  “Sesuai Al Maidah ayat 48, umat Islam diajarkan untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Salah satu penggalan ayatnya menyatakan bahwa Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan,”jelas Nadjib.

     Ajaran untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan ini menjadi spirit Muhammadiyah untuk mendirikan amal usaha pendidikan agar umat Islam menjadi umat yang unggul. Muhammadiyah bergaul dan melihat yang berbeda dengan semangat berkompetisi dalam kebaikan. “Tidak bersumbu pendek. Melihat kelompok lain yang berbeda untuk meneladani semangat melakukan kebaikan, atau berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan,”tegas guru besar yang juga penulis buku Heresy and Politics: How Indonesian Islam Deals with Extremism, Pluralism and Populism.

    Dekan FISIP UMM, Prof. Dr. Muslimin Machmud, M.Si dalam sambutannya menyampaikan bahwa penguatan Al Islam Kemuhammadiyahan merupakan bagian penting dalam penerapan catur dharma perguruan tinggi. AIK juga menjadi salah satu bagian dari misi universitas yaitu menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan terhadap sivitas akademika berlandaskan nilai-nilai AIK. “Mengelola keberagaman adalah bagian dari upaya memasyarakatkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Semoga melalui kajian ini, semangat multikulturalisme bisa dibangun sebagai cerminan dalam membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis,”tutur Muslimin. (wnd)

×