Rabu, 18 Desember 2019 17:00 WIB    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

        Seminar Nasional bertema ‘Prospek Pembangunan Sosial Politik Indonesia Di Era Jokowi Jilid II’ diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Seminar ini mengajak mahasiswa untuk berdiskusi terkait pembangunan sosial politik saat ini, Selasa (18/12). Menghadirkan Prof. Dr. Muhadjir Effendi sebagai Keynote Speaker, serta sembilan narasumber dari sejumlah tokoh nasional dan pakar di bidangnya. Salah satunya Dr. Vina Salviana DS, M.Si yang hadir dengan tema menarik mengenai kesejahteraan sosial bagi perempuan.

        Pada tahun 2018 kemiskinan di perkotaan mencapai 6,89%, di pedesaan 13,10% dimana kemiskinan di era Jokowi telah mengalami penurunan. Hal ini disampaikan Vina ketika membuka materi mengenai kesejahteraan sosial perempuan. Ia juga mengatakan bahwa jumlah keluarga miskin saat ini mencapai sekitar 25 juta, dengan rata-rata pendapat yaitu 1.990.170,00 rupiah.

          Dilihat dari per rumah tangga, rata-rata keluarga miskin dengan pendapat di bawah 2 juta ini merupakan keluarga yang dipimpin oleh perempuan (single parent). Dengan jumlah keluarga (anak) rata-rata 4-5 anggota. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa kesejahteraan sosial bagi perempuan belum sepenuhnya terpenuhi. Lalu, apa sebenarnya faktor yang membuat sebuah keluarga yang dipimpim perempuan belum mendapat kesejahteraan sosial yang layak.

      Posisi perempuan sebagai orangtua tunggal merupakan faktor utama, dimana beban tanggungjawab keluarga hanya dipikul oleh satu orang. Dr. Vina dalam materinya menyampaikan, dari data tahun 2016 keluarga miskin yang dipimpin perempuan mencapai 1,2 juta dengan persentase 11,03%. Jika diproyeksi per tahun 2019 maka terdapat 4.520.568 juta keluarga.

    “Ini suatu gambaran bagaimana suatu yang miskin itu lebih banyak perempuan. Karena perempuan itu sudah dengan anak-anaknya single parent dan punya anak 4 sampai 5 rata-rata tadi,” ungkap Dr. Vina dalam pembahasannya.

            Buta aksara menjadi faktor kedua yang mempengaruhi tingkat kemiskinan keluarga dengan pemimpin perempuan. Persentase buta aksara tertinggi yaitu diwilayah Papua dengan 22,8%. Buta aksara yang dialami perempuan dengan usia diatas 45 tahun keatas ini memengaruhi dalam proses pendidikan anak dan administrasi tertentu.

      Faktor ketiga yaitu gizi buruk yang dialami balita dalam keluarga yang dipimpin perempuan dengan persentase 17,7%. Faktor keempat adalah kekerasan rumah tangga. Kekerasan ini mencakup kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Kekerasan rumah tangga merupakan faktor terbentuknya keluarga single parent.  Pertanyaan berikutnya, dimanakah para politisi perempuan yang duduk di kursi parlement?

     “Pertanyaannya politisi-politisi perempuan yang duduk di parlement, mereka kan punya konstituen. Mereka juga berada di parlement karena partai,”ungkap Dr. Vina

   Dalam pembahasannya Dr. Vina juga menyampaikan, apakah penting pendidikan politik dalam partai politik. Nyatanya partai politik saat ini hanya memberikan pendidikan kaderisasi, bukan mengenenai pendidikan politik yang terutama berbasis sensitifitas gender. Pendidikan.

    Pendidikan politik berbasis sensitifitas gender merupakan langkah awal yang harusnya diterapkan partai politik. Langkah berikutnya dengan menguatkan konstituen melalui program yang berpihak kepada kepentingan perempuan. Dimana pendidikan dan penguatan konstituen ini dapat membentuk pola pikir dan fokus mengenai perempuan dalam meningkatkan kesejahteraannya.

     “Mudah-mudahan politisi kita, yang perempuan maksud saya, mau turun gunung ya, memperhatikan kaum perempuan yang sebetulnya banyak mengalami masalah di Indonesia,” harapan Dr. Vina saat mengakhiri materi yang disampaikan.

     Selain Vina, delapan pakar turut mengkritisi melalui analisa secara praktis dan teoritis. Diantaranya yaitu; Prof. J. Krishadi (Peneliti Semkar CSIS), Dr. Mohamad Sobary (Budayawan), Dr. Oman Sukmana, M.Si (Pakar Gerakan Kesejahteraan Sosial), Dr. Wahyudi, M.Si (Pakar Implantasi Budaya Nusantara), Muslimin Machmud, Ph.D (Pakar Komunikasi Tradisional FISIP UMM), Budi Suprapto, Ph.D (Pakar Komunikasi Politik FISIP UMM), Dr. Fauzik Lendryono (Manajemen Organisasi Pelayanan Sosial FISIP UMM)

     Pakar komunikasi politik FISIP UMM, Budi Suprapto, Ph.D., mengkritik permasalahan oligarki. “Oligarki tidak lepas dari kehidupan kita, saat ini media juga menjadi alat bagi oligarki dalam merengkuh kekuasaan. Lantas, Indonesia ini milik siapa? Ada kemungkinan terpilihnya Jokowi atas keinginan oligopoli media Indonesia. Media menduduki posisi strategis di infrastruktur politik, namun akhirnya disetir politik secara paksa sehingga terjadi agenda publik sehingga tidak sesuai dgn keinginan publik. Seperti yang terjadi pada penolakan UU-KPK dan RUU-PKS,”imbuhnya. Hal tersebut didukung dengan penelitiannya yang ditampilkan melalui slide di Dome UMM, disaksikan para peserta seminar nasional Prospek Pembangunan Sosial Politik Indonesia di Era Jokowi Jilid 2. (Sandra/Lely)

×