Kamis, 03 Juli 2014 13:38 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Bersama Atase Pendidikan Indonesia untuk India, Dr. Son Kuswadi (kedua dari kiri) di depan kampus Jamia Millia Islamia, New Delhi India (ki-ka: Gonda Yumitro, Son Kuswadi, Rinikso Kartono, Oman Sukmana, M. Hayat, Hevi Kurnia Hardini, Rahayu Hartini, Sugeng Winarno)
Oleh Muhammad Hayat (Kaprodi Sosiologi Fisip UMM)
Alhamdulillah, Perjalanan Ke India dalam rangka benchmarking (penguatan kelembagaan melalui kerjasama dengan Perguruan Tinggi asing: dalam hal ini India) berjalan sukses. Bahkan UMM berhasil sampai pada kesepakatan Agreement for Cooperationg (AoC) dengan Delhi University. Sementara di Jawaharlal Nehru University dan Jamia Millia Islamia peluang untuk melakukan kerjasama yang lebih dekat terbuka lebar, baik dengan Memorandum of Understanding (MoU) maupun AoC.
Kami bertujuh, Drs. Oman Sukmana, M.Si (Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial), Sugeng Winarno, MA (Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi), Muhammad Hayat, MA (Ketua Program Studi Sosiologi), Gonda Yumitro, MA (Ketua Program Studi Hubungan Internasional), Hevi Kurnia Hardini, M.Gov (Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan), Drs. Rinikso Kartono, M.Si (Ketua Program Studi Magister Sosiologi) dan Prof. Dr. Rahayu (Ketua Program Studi Magister Hukum), melakukan kunjungan akademik selama satu minggu ke kampus-kampus unggulan di India. Di sela-sela padatnya kegiatan, kami menyempatkan diri mengunjungi beberapa penanda wisata penting India. Dalam terik matahari dengan temperatur di atas 40 derajat Celcius ( di Agra, tempat Taj Mahal berada suhu mencapai 48 derajat Celcius), kami mencoba menyusuri keindahan, kemegahan dan keunikan India.
New Delhi
Tempat pertama adalah Kota New Delhi. Kota terbesar di India ini beruntung mendapatkan sentuhan cita rasa arsitek Inggris. Setiap sudut kota, taman-taman kota adalah pemandangan utamanya. Luasnya tidak hanya secuil, hal tersebut menandakan jika pengambil kebijakan memberi ruang demokratis bagi masyarakat. Inilah salah satu public sphere, dimana penghuninya bisa memanfaatkannya untuk merasakan oase dalam hiruk pikuk aktifitas. Burung, gagak, tupai, anjing, kera adalah pemandangan jamak dalam etalase ruang publik. Masyarakat India meyakini mereka adalah makhluk yang harus mendapatkan hak hidup yang sama dengan manusia. Sepanas dan segersang apapun suatu tempat, tetap saja hewan-hewan tersebut bisa merasa nyaman dalam lalu-lalang penduduknya. India memberi jeda pada pikiran, bahwa memahami sekitar adalah memahami hak tentang kompleksitas kehidupan dalam kesederhanaan tindakan.
Kesederhanaan dan kebanggaan India terekam dalam hak hidup kendaraan tradisional. Lalu lalang Auto (Angkutan umum sejenis bajay) dan Rickshaw (Sejenis becak dimana pengemudinya ada di depan) adalah pemandangan mayoritas di Jalanan New Delhi. Warna dan ornamennya memang terkesan lusuh, hal ini bukan menjadi masalah bagi masyarakat India, yang paling penting adalah keberfungsiann-nya. Fungsi menjadi point penting bagi masyarakat India. Kami sempat heran saat melihat banyak sekali mobil-mobil bagus yang bagian depan, samping maupun belakangnya penuh dengan bopeng-bopeng. Tetap saja mereka dengan percaya dirinya melaju kencang di jalan-jalan raya. Hampir semua mobil tidak ada yang mengkilat dan bersih, rata-rata kotor dan penuh debu. Tetap saja mereka merasa nyaman untuk memakainya. Bagi mereka, fungsi mobil adalah alat transportasi antar satu ke tempat yang lain. Point inilah yang mereka pegang. Dalam sengatan panas diatas 40 derajat Celcius, kami menikmati Auto dan Rickshaw. Kendaraan tradisional ini memberikan sensasi tersendiri. Kunjungan dalam detak kebahagiaan adalah keseluruhan atmosfer dan perasaan kami.
Hal yang cukup mengganggu manakala berkunjung ke India adalah kebersihan. Kesan kusam dan cenderung kurang bersih terlihat di pojok-pojok kota. Kita akan dengan mudah mendapatkan pengemis di ruang-ruang publik. Orang-orang masih dengan seenaknya meludah di jalan.Ketika kita belanja, mereka tidak segan-segan melakukan jual beli dengan cukup memaksa. Untuk hal tersebut, kita harus dengan tegas mengatakan Nehi (bahasa India untuk kata “tidak”). Terlepas dari itu, India adalah tempat dengan sosok masyarakat yang sangat percaya diri dan bangga sekali dengan identitas lokal.
Zakir Nagar
Ada tempat menarik lain yang kurang mendapatkan perhatian kita saat berkunjung ke India, yaitu Zakir Nagar. Daerah dengan penduduk mayoritas muslim ini merupakan salah satu tempat terpadat di New Delhi. Tempat dimana pada akhirnya saya meng-amini bahwa penduduk India benar-benar dalam kisaran 1,2 milyar. Bisa dipahami jika masyarakat muslim memilih hidup dalam satu lingkungan. Karena dari sinilah mereka merasa mempunyai kemampuan memproduksi nilai berdasarkan identitas. Kenyamanan relasi berimplikasi pada atmosfer muslim yang menggelegak dalam keseharian mereka. Hal tersebut terlihat sangat jelas dari sesaknya masjid saat shalat tiba, makanan halal, dan lain sebagainya.
Terkonsentrasinya penduduk muslim tersebut berimplikasi pada pemaknaan “space” hanya sebatas “primary need” bagi penduduknya. Pemandangan utamanya adalah, jalanan Zakir Nagar yang lebarnya hanya sekitar 6 meter penuh sesak oleh mata rantai ekonomi. Etalase makanan, pakaian, warung makan, satu-dua resto kecil, pedagang kaki lima dengan makanan khas India menjadi wajah kiri kanan jalan. Kami berjalan dalam degup cepat kaki-kaki panjang yang melintas dengan cepat. Pada saat yang sama, Rickshaw melintas dengan cepat. Dalam jalanan padat tetap saja bisa mengambil celah.
Sore semakin gelap, tanpa terasa perut sudah mulai keroncongan. Sama Pak Alam, teman Pak Gonda kami diajak makan ke sebuah resto yang menyediakan makanan khas India yang sudah terkenal turun temurun. Beberapa sajian memenuhi meja, ayam dengan saus warna putih dengan taburan sayur yang diiris kecil-kecil. Ayam saus santan kental dengan bumbu warna oranye, sampai dua potong daging kambing dalam mangkok ukuran sedang, dengan rempah-rempah yang memenuhi keseluruhan mangkuk. Tidak lupa roti canay dalam ukuran yang sangat besar. Nasi Biryani, sebagai nasi khas India menjadi pelengkap lain yang memenuhi meja. Tidak ketinggalan, salad bawang merah besar asli India diiris tipis-tipis dipadu-padankan dengan beberapa irisan jeruk nipis. Jinten dan pala menguasai lebih dari 50% kadar bumbu dalam setiap masakan. Saya menikmatinya dalam kebingungan lidah mencecap rasa yang begitu different dengan cita rasa makanan Indonesia.
Matahari senja mulai menggantung di langit Zakir Nagar. Adzan magrib mulai berkumandang, merasakan shalat di masjid berlantai 4 menjadi passion berikut kami. Dalam waktu singkat, 4 lantai penuh dengan jamaah. Hiruk pikuk jalan Zakir Nagar, menjadi ritme hidup bersanding dengan gelegak ibadah masyarakat. Setelah selesai shalat magrib, kami kembali menyusuri Jalan-jalan di Zakir Nagar. Jalan kecil begitu hidup di sore yang semakin padat. Mobilisasi manusia, kendaraan, maupun pedagang menjadi ritme rutin yang bermuara pada kemacetan parah. Bunyi klakson kendaraan menjadi magma utama dalam kebingungan kami mencari celah untuk bisa tetap bergerak, bersama ribuan kaki yang sama-sama terjebak dalam kemacetan. Masyarakat setempat sepertinya sudah terbiasa dalam kondisi seperti itu. Magrib yang mulai menghilangkan semburat jingga matahari, semakin riuh dalam detak satu persatu penghuninya. Setelah melewati perjuangan luar biasa, kami pada akhirnya bisa keluar dari ruang crowdid tersebut. Sore di Zakir Nagar adalah pembelajaran tentang gambaran negeri berpenduduk lebih dari 1,2 milyar. Padat, penuh peluh, keras dan mencoba memberi arti dalam detak-detak nafas di setiap harinya.
Red Fort (Benteng Merah)
Tempat lain yang tidak kalah menariknya adalah Red Fort (Benteng Merah). Menyusuri benteng seakan kita dibawa ke masa-masa kejayaan Islam dalam kekuasaan kerajaan Moghul. Pusat pemerintahan kerajaan terletak di dalam benteng tersebut. Sisa-sisa kemegahan masih terlihat dengan jelas. Bangunan istana masih menjulang dengan tembok-tembok kokoh yang tidak lapuk dalam rentang ratusan tahun. Taman yang difungsikan bagi istri raja memanjakan diri juga masih terlihat jejak keindahannya. Masjid sebagai penanda identitas kolektif masyarakat, sampai sekarang masih difungsikan untuk tempat ibadah. Seluruh penanda kebesaran Islam tersebut terlindung oleh kekuatan dan kemegahan benteng yang terbuat dari batu merah menjulang tinggi. Situs Indah tersebut terlihat agung dan mewah saat terdokumentasikan dalam sore yang semakin terlihat merah oleh warna ribuan batu dari benteng. Ada gelegak tentang kebanggaan dan keindahan islam dalam masa ratusan tahun. Kami masih terus menikmati dalam ketakjuban. Tidak lupa tangan semakin lincah merekam jejak keindahan tersebut lewat beberapa kamera yang kami bawa. Kami masih terus memotret, matahari mulai hilang dalam langit malam yang semakin jatuh.
Taj Mahal
Keindahan terakhir yang menjadi puncak dari keindahan India adalah Monumen cinta, Taj Mahal. Disebut monumen cinta karena inilah hadiah tanpa pamrih dari Sang Raja terhadap istri tercinta, Mumtaz Mahal. Meninggalnya Sang istri membawa kedukaan yang begitu dalam bagi Sang Raja. Taj Mahal adalah persemayaman terakhir Mumtaz Mahal. Mengerahkan sekitar 20 ribu pekerja dengan marmer-marmer pilihan yang diambil dari Tarjikistan (berjarak sekitar ribuan kilometer dari Agra, tempat Taj Mahal dibangun) adalah bukti kehilangan yang amat sangat dari Sang Raja. Kehilangan termanifestasikan dalam liarnya imajinasi. Imajinasi yang pada akhirnya menghadirkan salah satu karya agung peradaban manusia. Imajinasi yang mampu menggerakkan seluruh raga, waktu, dan harta untuk satu gelegak keinginan, yaitu monumen cinta dalam detak-detak yang terus menggema dan memberi arti sampai sekarang. Taj Mahal menjadi salah satu tanda keajaiban dunia yang bisa dijelmakan manusia. Kami terus bergerak dalam decak kagum ribuan manusia yang memenuhi seluruh ruang indah nan luas di Taj Mahal. Dokumentasi menjadi oase kegembiraan kami untuk se-intim mungkin mencari sisi-sisi indah dari Taj Mahal. Manakala semua angle adalah keindahan, jemari terus berusaha membidik oase tersebut sebagai cara kami mengingat dan mensyukuri nikmat. Saat panas masih terus menebar haknya atas kami, kami mulai menjauh dari Taj Mahal. Sore yang panas, kami justru merasakan semilir keindahan dalam dekapan monumen cinta. Kami terus berjalan, dari jauh Taj Mahal masih memancarkan keagungannya. Indah bukan hanya sebatas kata.
Sabtu, 28 Juni 2014
Wisma Embassy, New Delhi India