Kamis, 17 Juli 2014 10:44 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Kajian Ramadhan Fisip: Diah Karmiyati (PR III), Asep Nurjaman (Dekan Fisip), Faridi (Pembicara, dekan FAI)
Banyak diantara penganut keagamaan hanya mempraktikkan dipeluk agama bukan memeluk agama, sehingga pemahaman agamanya seringkali mengalami kontrakdiksi dalam kehidupan masyarakat.
Demikian intisari dari kajian agama di Fisip UMM (17/7/2014) di ruang 611 dan dihadiri oleh seluruh dosen dan karyawan Fisip UMM. Hadir sebagai pembicara Drs. Faridi, M.Si (Dekan FAI), dan dr. Diah Karmiyati, P.Si (Pembantu Rektor III).
Faridi menjelaskan bahwa pemahaman keagamaan seseorang tidak ditentukan oleh nama atau atribut fisik lain. Memahami agama tidak harus rumit. Menyampaikan pengajian tidak harus fasih berbahasa Arab. Bahkan doa pakai bagasa Indonesia saja tidak dosa. Muhammadiyah itu organisasi sosial keagamaan yang pengikutnya beragama dengan logika sehat dan sosial, bukan radikal.
Sambil mengutip Clifford Geertz, dekan FAI itu mengatakan, “Kita jangan salah memahami ajaran agama. Ada dua pengelompokan pemahaman keagamaan, yakni dipeluk agama (religiousness) dan memeluk agama (religius mindedness). Dipeluk agama itu memahami ajaran agama tidak menyandarkan pada logika dan akal, sementara memeluk agama menyandarkan kesadaran agama dengan menjadikan kemampuan rasio sebagai sarana penting untuk beragama secara benar”.
Faridi menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang yang dipeluk agama akan selalu menengelamkan dirinya dalam pelukan agama sehingga setiap doktrin keberagamaan diterima begitu saja tanpa kesangsian, kalau ada kesangsian, namun dengan suka rela ia mematikan.
Memelihara jenggot itu bisa dipahami oleh penganut dipeluk agama secara harfiah. Padahal dulu dilakukan Rasulullah untuk membedakan antara orang Islam dan Yahudi. Itu dikatakan Rasulullah karena saat perang belum ada seragam. Untuk membedakan maka jenggot dianjurkan. Ini yang kadang masih disalahartikan sebagai doktrin ajaran agama.
“Sementara itu, memeluk agama itu sikap seseorang tidak tenggelam dalam rutinitas agama, melainkan aktif memepertanyakan ajaran agama yang diterima secara apiori. Kepercayaan yang berlebihan akan kemampuan rasio sebagai saran paling menentukan untuk beragama secara benar. Jadi, tidak semua hadist harus diterima tetapi harus dikontekskan dengan masyarakat dimana agama berkembang , “mantan Pembantu Dekan II FAI itu menandaskan.
Motivasi PR III
Sementara itu, dalam sambutannya, Diah Karmiyati (Pembantu Rektor III) menekankan pentingnya prirotas dalam menjalani hidup. Sebab, kita dihadapkan pada prioritas yang ada di sekitar kita.
“Hidup ini akan selalu dihadapkan pada skala prioritas. Kita punya multi peran. Jika salah satu peran tidak tercapai, tentu akan ada konsekuensi. Apa yang kita inginkan sangat mungkin tidak sesuai sebagaimana yang kita diharapkan”, tegas Dian Karmiyati yang juga mantan Dekan Fakultas Psikologi.
Diah juga menegaskan jika ada skala prioritas yang dipilih sementara ada yang tidak tercapai tentu akan mengorbankan dan tidak tercapai keseimbangan. Masing-masing skala punya konsekuensi masing-masing. Seseorang tentu harus memilih mana yang mempunyai dampak paling kecil (nrd)