Selasa, 08 September 2020 09:50 WIB    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

     Jika gajah mati meninggalkan gading, maka kepergian guru bangsa ini meninggalkan sejuta kenangan bagi orang-orang yang pernah berelasi intensif dengannya. Kabar duka pada 7 September 2020 itu mengejutkan civitas akademika UMM, tak terkecuali dua dosen senior FISIP UMM. Kabar Prof H.A. Malik Fadjar, M.Sc tutup usia, membuka kenangan tersendiri pada sosok revolusioner ini. Bisa jadi tak banyak yang tahu bahwa profesor kelahiran Magelang Jawa Tengah ini pernah menjadi dekan FISIP UMM. Ya, Prof. H.A. Malik Fadjar,M.Sc pernah menjabat sebagai Dekan FISIP UMM periode 1982-1983. Terbilang singkat, namun gebrakan yang ia lakukan masih terkenang oleh para pendahulu FISIP UMM. Dra. Suadah, M.Si dan Dr. Habib, M.A, membagikan kesannya tentang bagaimana Prof Malik berhasil membangun UMM sehingga menjadi kampus kejayaan di masa kini.

Ungkapan duka cita FISIP UMM atas kepergian sang guru bangsa, Prof.H.A.Malik Fadjar, M.Sc (sumber: IG fisip_umm)

     Dr. Habib adalah salah satu orang yang turut andil ‘melobi’ Prof Malik untuk mau menjadi dosen di FISIP UMM. Waktu itu sekitar tahun 1981 seusai menyelesaikan studi di Amerika, prof Malik yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris dekan di IAIN Sunan Ampel Malang, belum memiliki banyak aktivitas sebelum kembali bertugas di IAIN Sunan Ampel. “Saya dan pak Imam Suprayogo melobi beliau untuk bisa mengajar di FISIP. Alhamdulillah beliau bersedia dan akhirnya menjadi dekan di FISIP tahun 1982-1983 sebelum menjadi rektor itu. Bagi saya mas Malik tidak hanya sebagai atasan atau pimpinan, namun juga kakak, sahabat dan guru bagi saya. Oh iya, beliau selalu memanggil saya dengan panggilan Dek Habib, dan saya memanggilnya Mas Malik, karena selisih usia kami hanya lima tahun,”kenang Habib, dosen Prodi Kesejahteraan Sosial.

     Selama menjadi dekan, banyak gebrakan yang dilakukan oleh Prof Malik. Habib menuturkan Prof Malik adalah tipe pribadi yang tegas dan revolusioner. Melalui tangan dinginnya, Prof Malik mengajarkan bagaimana cara promosi mendapatkan mahasiswa, menata SDM dosen termasuk membangun fasilitas fisik di UMM. “Tidak semua pemimpin memiliki keberanian mengambil keputusan seberani mas Malik. Keputusannya membeli tanah di kampus 2 dan kampus 3 dengan menjaminkan sertifikat tanah dan bangunan miliknya dan sejumlah dosen adalah salah satu gebrakan yang akhirnya bisa mewujudkan fisik kampus UMM sebesar sekarang,”imbuh Habib.

     Prof Malik adalah salah satu orang yang berada dibalik pembangunan kampus 3 UMM. Saat itu, salah satu mahasiswa Habib yang bernama Syaroni, adalah kepala desa di Tegalgondo, berniat menjual tanah rawa-rawa yang kini menjadi lokasi kampus 3. Tanah itu dijual dengan harga murah waktu itu. Harganya murah karena memang kontur tanahnya adalah rawa-rawa. Prof Malik  berani membeli tanah di Tegalgondo ini dengan menjaminkan sertifikat tanah dan bangunan miliknya dan sejumlah dosen demi bisa membeli tanah bakal kampus 3 UMM ini. Padahal waktu itu jangankan punya banyak uang, sepeda motor saja Prof Malik tidak punya. Setiap hari Habib lah yang mengantar jemput Prof Malik dari rumahnya ke kampus UMM di jalan Bandung karena saat itu hanya Habib yang sudah punya sepeda motor. Namun kesederhanaan Prof Malik ini berbanding terbalik dengan jiwa revolusioner yang ia miliki. “Keputusan mas Malik untuk membeli tanah rawa bakal kampus 3 ini sempat dibully, tanah rawa kok dibeli. Namun keputusan berani mas Malik ini bisa kita nikmati sekarang. Kampus 3 UMM adalah buah dari keberanian seorang pemimpin besar seperti mas Malik,”kisah Habib

Dra. Suadah, M.Si dan Dr. Habib, M.A, dosen Kesejahteraan Sosial FISIP UMM

     Tak jauh berbeda dengan kesan yang dirasakan Habib, Suadah pun memiliki kenangan tersendiri tentang sosok tegas dan cerdas itu. Di mata dosen Kesejahteraan Sosial ini, Prof Malik adalah sosok berjiwa muda yang penuh ide-ide brilian. Ketika menjadi dekan, Suadah ingat betul bagaimana Prof Malik ‘mendidik’ dosen-dosen muda di FISIP dengan ketegasan. “Pak Malik itu kalau sudah bilang, sekarang bikin proposal, tiga hari jadi ya, Suadah ayo besok bikin diskusi, Suadah ambil SK nya ya, wis…tidak ada yang berani membantah. Pak Malik itu kalau orang Jawa nyebutkan cak cek, cerdas dan tangkas gitu. Ia senang bekerja dengan yang berjiwa muda karena yang muda dan berjiwa muda itu cepat kalau mau diajak lari. Figur itu yang saya rasa dibutuhkan sehingga UMM bisa sebesar ini sekarang,”tutur Suadah mengenang.

     Di masa kepemimpinan Prof Malik pula lah, Suadah pertama kali punya pengalaman riset internasional yang bekerjasama dengan Bangladesh. Di tangan Prof Malik pula lah, UMM lambat laun mengalami kemajuan signifikan hingga sebesar sekarang.  “UMM itu aduh tidak seperti sekarang. Waktu itu universitas hanya punya satu sepeda motor sebagai inventaris kampus, yang akan diakui oleh setiap fakultas kalau ada visitasi akreditasi kalau seperti sekarang ya istilahnya. Ya saking ndak punyanya UMM waktu itu. Pertama kali UMM bisa membeli mobil Isuzu sebagai inventaris kampus itu bangganya luar biasa ya kita ini,” kisah Suadah sambil tertawa. Ia juga mengenang sisi kesederhanaan yang Prof Malik contohkan. Saat Prof Malik menjadi rektor, proses sertijab dengan mantan rektor sebelumnya dilaksanakan dengan penuh kesederhanaan. Tanpa kemewahan. Ini menjadi teladan yang diingat oleh Suadah. Ada satu pesan Prof Malik yang juga melekat kuat dalam ingatan Suadah dan Habib. Pesan itu selalu diulang-ulang saat rapat atau pertemuan dimanapun. “Di UMM ini pengabdian, jadikan ibadah, yang ikhlas. Kalau tidak ikhlas metuo ae soko kene,”ungkap Prof Malik seperti ditirukan oleh Habib.

     Selamat jalan Prof Malik, sang Guru Bangsa, insya Allah husnul khotimah. Perjalananmu di muka bumi telah usai. Namun seperti yang pernah diucapkannya, kita boleh saja kehilangan raga namun jangan sampai kita kehilangan harapan dan cita-cita. Kalau kita kehilangan cita-cita berarti kita telah kehilangan segalanya. Semoga amal ibadah dan perjuangan sang guru bangsa diterima di sisi Allah. Keteladanannya akan tetap menjadi catatan yang tak pernah mati di hati seluruh civitas akademika di negeri ini. (wnd)

×