Kamis, 09 Juli 2020 23:12 WIB    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

     RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau lebih sering disebut dengan singkatan RUU PKS sedang menjadi polemik karena perjuangan panjangnya seperti jalan di tempat. Padahal RUU ini diharapkan mampu menjadi titik terang penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual yang mayoritas dialami perempuan. Pakar gender dan isu perempuan FISIP UMM pada Kamis (9/7), Luluk Dwi Kumalasari, M.Si diundang untuk mengupas tuntas terkait isu polemik RUU PKS dalam forum UMM Talks. Kegiatan yang bisa diikuti melalui berbagai platform media ini membahas persoalan  RUU yang dinilainya carut marut tersebut.

Luluk Dwi Kumalasari, M.Si, pakar gender dan isu perempuan FISIP UMM dalam UMM Talks Kamis (9/7)

     Menurut dosen Prodi Sosiologi ini, RUU PKS harus segera diselesaikan dan disahkan karena persoalan kekerasan seksual di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Data terbaru Komnas Perempuan mencatat bahwa saat ini sudah lebih dari 341.000 kasus kekerasan seksual di Indonesia. “Oleh karena itu, penyelesaian kasus kekerasan seks harus diperjuangkan karena tiga alasan. Pertama, kekerasan kan memang harus dihapuskan,kedua  perempuan yang mayoritas menjadi korban harus mendapat perlakuan adil, dan yang ketiga hal ini berkaitan dengan kesetaraan gender,”ungkap kandidat doktor Sosiologi Universitas Brawijaya tersebut.

     Kekerasan seksual sebenarnya adalah sebuah term yang cukup luas definisinya. Luluk menilai, RUU PKS ini sudah cukup rinci menjelaskan apa definisi dari kekerasan seksual tersebut. Ia mengambil contoh di pasal 11, dijelaskan bahwa konsep kekerasan seksual, bukan sekedar permasalahan menyentuh tubuh atau melukai tubuh perempuan. “Ketika terjadi tindakan merendahkan orang lain, menyerang hasrat seks seseorang, kekerasan pada fungsi reproduksi seseorang juga termasuk kekerasan seksual. Bahkan kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ranah yang tertutup, ruang publik yang dianggap aman karena banyak orang melihat pun bisa menjadi sarana terjadinya kekerasan seksual,”jelasnya.  Masa pandemi seperti sekarang ini juga dapat membuat kasus kekerasan makin menggendut. Ketika orang lebih banyak di rumah di masa pandemi, data menyebutkan bahwa kekerasan di ranah domestik justru meningkat. “Orang terdekat pun yang harusnya menjadi support system teraman ternyata malah menjadi orang yang berbahaya dan melakukan tindakan kekerasan seksual,”imbuhnya.

      Pentingnya perhatian pada kasus kekerasan seksual ini juga dilatarbelakangi oleh efek yang bisa ditimbulkan. Korban kekerasan seksual tidak hanya mengalami permasalahan fisik dan psikis, namun juga beban sosial. Luluk menyebut, kondisi kultural di masyarakat jika terjadi tindak kekerasan seksual misal perkosaan maka pemerkosa harus bertanggungjawab dengan menikahi korban. Padahal menurutnya hal itu sangatlah tidak adil jika korban perkosaan harus menikah dengan orang yang menyakitinya, namun inilah yang terjadi pada kebiasaan masyarakat kita.

Baca juga :  Pakar Gerakan Sosial FISIP Kaji Kontribusi Masyarakat Pedesaan Melawan Covid-19

      Persoalan masa lalu yang bersifat traumatis bisa menjadi pencetus seseorang melakukan tindakan kekerasan gender.  Selain itu, fakta bahwa meningkatnya tingkat perceraian ternyata juga tidak lepas dari faktor ketidakpahaman pada kesetaraan gender dan ketidaksadaran tentang definisi kekerasan seksual. Oleh karena itu, selain melalui pengesahan RUU PKS ini, pendidikan kesetaraan gender menjadi hal penting sebagai bagian solusi pencegahan kekerasan seksual. Bentuk pendidikan kesetaraan gender bisa dilakukan  dengan adanya pelibatan atau partisipasi pada forum atau lembaga tertentu yang memfasilitasi pemahaman kesetaraan gender. Edukasi terkait kesetaraan gender perlu diajarkan sejak dini, bahkan bisa dilakukan sejak anak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Diharapkan, dengan pengenalan edukasi kesetaraan gender ini akan terbentuk pemahaman kesetaraan gender yang akan membekali generasi muda dalam bersikap di lingkungannya. (wnd)

×