Rabu, 17 November 2021 09:12 WIB    Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

     Ruang demokrasi di masa pandemi Covid-19 menjadi terbatas bagi adanya pertemuan masyarakat secara fisik. Tidak hanya itu, urusan ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, sosial, dan lainnya diatur dan dibatasi demi mencegah menyebarnya virus covid-19. Sejak itu, kebutuhan masyarakat akan ruang publik berpindah ke ruang digital. Internet memampukan ruang-ruang digital untuk saling terhubung dan menghubungkan warga menjadi warganet.

     Di titik ini, demokrasi juga berpindah ke ruang digital dalam bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, ekses negatif juga melintasi ruang digital bagi demokrasi dalam bentuk ujaran kebencian dan kabar bohong. Demokrasi digital dipandang sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses politik dan pemerintahan.

   Dalam kondisi ideal, Internet mendorong aspirasi masyarakat tersampaikan melalui berbagai saluran komunikasi pemerintahan sehingga tercipta kebijakan dan regulasi publik. Dalam menyikapi era demokrasi digital ini, pakar komunikasi FISIP UMM, Muslimin Machmud, M.Si, Ph.D, memaparkan sejumlah pemikirannya dalam program Forum Kita yang digagas oleh stasiun TV Lokal, Malang TV, hari ini (17/11).

 

Muslimin Machmud, M.Si, Ph.D, ketika memaparkan gagasan terkait demokrasi digital (foto:sw)

    Muslimin mengatakan pada prinsipnya kesiapan masyarakat dalam demokrasi digital, dalam penggunaan teknologi sudah siap. Namun sayangnya dalam kedewasaan bermedia masih belum siap. Khususnya dalam memahami mana data dan informasi yang benar. Masyarakat perlu ada semacam pembelajaran baru yang sering disebut dengan istilah new literacy.

    “New literacy ada tiga. Yang pertama adalah literasi data. Masyarakat harus bisa membaca data, menganalisis data dan menyimpulkan data tersebut. Masyarakat juga harus memiliki literasi teknologi, terkait dengan penguasaan penggunaan teknologi dan bisa mengetahui dampak teknologi. Berikutnya adalah literasi sumber daya manusia meliputi kemampuan komunikasi, kolaborasi dan kemampuan kritikal,” ungkap Muslimin.

    Dalam menyikapi era demokrasi digital ini, penyelenggara pemilu dan Kemenpora harus memberi perhatian dengan menciptakan konten-konten yang sesuai dengan generasi Z. Hal ini perlu dilakukan untuk memfasilitasi ruang public untuk generasi Z. Sebab ruang public bagi generasi Z juga sudah mengalami transformasi. Untuk generasi Z, karakteristiknya mudah bosan dengan pesan-pesan politik. Namun di satu sisi mereka juga mudah dipengaruhi ketika kontennya menarik dan kreatif. Durasi pesannya juga harus disesuaikan dengan karakter generasi gen Z.

    “Durasi konten menurut saya harus didesain yang singkat, padat, menarik serta tepat sasaran, tidak lebih dari delapan menit. Sebab karakter generasi Z ini memang mudah bosan dengan pesan yang panjang-panjang,”jelas Muslimin.

    Menurut Muslimin, kampus memiliki tugas besar untuk menggiatkan literasi terkait demokrasi digital ini. Generasi Z dimana sebagian besar ada di kampus adalah generasi yang harus disentuh khususnya yang berkaitan dengan literasi politik dan demokrasi di Indonesia. (wnd)

×