Selasa, 08 Desember 2020 21:50 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Pemberitaan kasus prostitusi online yang menimpa sejumlah artis, ternyata cenderung tidak ramah perempuan. Hal ini memantik keprihatinan dua dosen FISIP UMM. Tak hanya pemberitaan kasus prostitusi online, berita-berita kasus perkosaan juga acapkali menyudutkan perempuan. Selain itu berita tentang kaum difabel juga masih belum proporsional. Pelabelan dan gambaran tentang difabel perlu dikoreksi.
Oleh karena itulah, pada Minggu (6/12), dua dosen FISIP, Dr. Frida Kusumastuti, M.Si dan Winda Hardyanti, S.Sos, M.Si, mengadakan pelatihan produksi karya jurnalistik yang bertajuk Jurnalisme Ramah Perempuan dan Anak Berkebutuhan Khusus bagi reporter kampus melalui platform zoom meeting. Sebanyak 15 reporter kampus dari berbagai media berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Acara tersebut dilaksanakan sebagai bentuk edukasi dalam membangun perspektif yang tepat, khususnya dalam memberitakan perempuan dan kaum difabilitas.
Frida Kusumastuti (kiri) dan WInda Hardyanti saat memaparkan materi pada pelatihan untuk para reporter kampus (foto: wnd)
Frida Kusumastuti, doktor yang meneliti difabilitas dari perspektif sosial ini, memaparkan cara pandang pada kaum difabel perlu diubah, “Misalnya, penggunaan istilah disabilitas. Padahal disabilitas berasal dari kata disable, yang artinya tidak mampu. Berbeda jika menggunakan istilah difable, different abilities, yang artinya berbeda kemampuan. Dengan demikian, difabel itu ya punya kemampuan, bukan tidak punya kemampuan,”jelas Frida.
Sebagai jurnalis milenial, para reporter kampus diharapkan bisa memperjuangkan hak-hak kaum difabel. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yakni dengan mengganti istilah disabilitas menjadi difabilitas. “Harapannya, hal itu bisa membiasakan atau membangun masyarakat yang inklusif. Masyarakat yang menghargai perbedaan. Disamping itu juga membangun rasa percaya diri kaum difabel.” ujar dosen Ilmu Komunikasi UMM itu. Di bagian yang lain Frida mengenalkan model sosial dan model medis dalam melihat wacana difabilitas.
Pelatihan jurnalistik ramah perempuan dan anak untuk para reporter kampus (foto: wnd)
Winda Hardyanti, pemateri kedua menuturkan, permasalahan istilah dan pemilihan diksi juga menjadi problem dalam pemberitaan terkait perempuan. Ia mengatakan pentingnya jurnalis memahami komunikasi gender. Bentuk kekerasan gender di media yang masih sering terjadi diantaranya adalah stereotype, marginalisasi, dan subordinasi.
Salah satu solusi untuk menggalakkan jurnalisme berperspektif gender dengan melakukan jurnalisme advokasi. Cara untuk memulainya dengan menanamkan tiga hal. Pertama, berpegang teguh pada prinsip kesetaran gender. Kedua, berpihak pada kebenaran. Ketiga, tetap berpedoman pada kode etik jurnalistik. Pilihan diksi yang dipilih juga harus tepat agar pemberitaan yang dibuat tidak malah menggiring pembaca pada stereotype yang justru merugikan perempuan.
Contohnya, hindari istilah korban, dan diganti dengan penyintas. “Dalam menulis berita, pentingnya cover both side. Ketika menulis tentang sisi korban, maka harus diimbangi dengan sisi pelaku dan hindari mengekspos kehidupan pribadi korban perkosaan secara berlebihan. Fokus pada kasus dan penanganannya,” ujar dosen Ilmu Komunikasi yang juga mantan jurnalis itu.
Ika, salah satu peserta menanyakan bagaimana cara untuk menyeimbangkan antara pasar media dengan value berita. Sebab, sudah jamak diketahui, bahwa pasar lebih senang berita yang click bait. Winda mengatakan kondisi tersebut memang cukup sulit karena berhadapan dengan kepentingan politik ekonomi media. Namun sebagai jurnalis, prinsip utama yang harus dipegang adalah cover both sides dalam memberitakan kasus-kasus yang berkaitan dengan gender.
Kemudian, yang perlu menjadi catatan, berita yang disajikan juga harus menghindari atribusi fisik dan pembahasan di luar isi berita. “Selain itu dalam menulis berita, kita perlu mendudukkan narasumber sesuai dengan porsinya. Semisal ketika perempuan sebagai penyintas perkosaan ya ditempatkan sebagai korban tanpa harus menyalahkan bajunya yang ketat atau karena pulang malam. Sebab dalam perspektif komunikasi gender, perkosaan terjadi karena niat pelaku, bukan semata karena stimulus pakaian perempuan,”ujarnya. (des/wnd/frd)