Kamis, 09 Desember 2021 04:43 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Semeru baru saja meletus. Namun info berita terkait bencana ini pun tak lepas dari hoax. Tak jarang munculnya video-video lama tentang bencana alam, disinyalir justru menambah kepanikan. Hal ini disampaikan oleh Sugeng Winarno, M.A, pakar komunikasi FISIP UMM pada program Idjen Talk di Ameg TV (9/12) lalu . “Apapun bisa jadi hoax saat ini, hal ini disebabkan penetrasi teknologi komunikasi di masyarakat sudah sangat kuat. Di daerah-daerah pedesaan juga sudah tersentuh oleh smartphone. Ada semacam keinginan, kebanggaan, jika konten viral. Selain itu juga ada latar belakang ekonomi, ya seperti sengaja mencari keuntungan gitu lah,”ungkap Sugeng.
Lebih lanjut, Sugeng yang juga dosen di Prodi Ilmu Komunikasi ini menjelaskan maraknya pembuat hoax di media sosial juga termotivasi oleh sistem algoritma internet. Ia menyebut, jika sebuah kata itu dicari banyak orang, algoritma kata tertentu naik sehingga memotivasi orang untuk membuat konten yang menyesuaikan dengan tren algoritma tersebut. Selain itu media sosial memiliki karakter user generated content yang memungkinkan setiap pihak bisa membuat berita. Efeknya adalah medsos memungkinkan munculnya penulis anonim, setiap orang bisa melemparkan isu dengan tujuan mengacaukan situasi.
Sebenarnya masalah berita hoax ini bisa diatasi jika literasi media di masyarakat kita cukup baik. “Tapi masalahnya literasi media atau melek media di masyarakat kita tidak sejalan dengan makin masifnya perkembangan teknologi komunikasi. Melek media ini dalam artian kemampuan teknis dan kemampuan kritis dalam mengkonsumsi konten,”jelas Sugeng Winarno. Ia menyebut pendidikan literasi media di Indonesia belum mendapatkan porsi khusus di kurikulum. Di banyak negara maju, pendidikan literasi media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan beberapa contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan literasi media di sekolah. Padahal berdasarkan hasil riset, dalam sehari orang rata-rata menggunakan smartphone lebih dari 3,5 jam. “Inilah menurut saya penting sekali kita memasukkan literasi media ini dalam pendidikan di sekolah. Faktanya saat ini pendidikan literasi media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, roadshow, dan kampanye-kampanye mengenai literasi media. Literasi media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye selama seminggu,”ungkapnya.
Perkembangan teknologi komunikasi memang menimbulkan wajah ganda. Di satu sisi teknologi komunikasi penting bagi kehidupan manusia, tapi di sisi lain teknologi juga bisa membuat orang berbicara nir etika. Orang juga dengan gampang membuat narasi yang tidak karuan sehingga muncul fenomena banjir informasi. Banjir informasi ini juga sebabkan fenomena matinya kepakaran. “Artinya orang bisa ngomong tentang apa saja, misalnya saja bukan ahli bencana ngomong bencana, ini kan berbahaya sekali. Sebagai contoh informasi kesehatan. Riset mengatakan 90% informasi kesehatran di WA itu hoax, kan ini berbahaya. Begitu juga tentang berita tentang bencana, saya rasa masyarakat perlu hati-hati dalam menyikapi informasi,”imbuhnya.
Sugeng menyebut ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal ini. Pemerintah melalui Kominfo harus menjadi benteng bagi membanjirnya fenomena hoax dengan kuasa kebijakan yang dimilikinya. Media mainstream pun harus ikut hadir sebagai media penjernih informasi. Ia menyebut jangan sampai media mainstream justru malah ikut-ikutan media sosial menyuburkan berita hoax. (wnd)