Kamis, 10 Juni 2021 17:41 WIB Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Gonjang-ganjing isu yang menggoyang KPK beberapa waktu terakhir memantik keprihatinan civitas akademika FISIP UMM. Hari ini (10/6) FISIP UMM menggelar Diskusi Publik yang bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum. FISIP menghadirkan sejumlah pembicara di bidang hukum dan politik. Tokoh hukum Indonesia yang juga mantan wakil ketua KPK, Dr Busyiro Muqoddas, menjadi salah satu dari empat pembicara dalam webinar kali ini. Selain Dr.Busyiro Muqoddas, FISIP juga menghadirkan Prof. Azyumardi Azra, M.A, cendekiawan muslim Indonesia dan Feri Amsari, S.H,M.H.LLM, aktivis hukum Indonesia yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas. Dari FISIP, Dr. Rinikso Kartono, M.Si berkesempatan untuk menjadi pembicara sekaligus keynote speaker pada diskusi public ini.
Hasil tangkapan layar Webinar FISIP yang menghadirkan sejumlah tokoh anti korupsi nasional
Dr. Rinikso Kartono, Dekan FISIP UMM ketika memberi pengantar pada diskusi public terkait KPK hari ini mengatakan tindakan labelling pada calon anggota KPK yang tidak lolos TWK adalah perilaku yang tidak adil. Terjadi labelling terhadap pemberantas korupsi sebagai orang-orang tidak Pancasilais namun para koruptor tidak diberi labelling negative. “Serangan balik dari koruptor yang terjadi juga mempengaruhi semua elemen di masyarakat, instrument kebaikan menjadi pudar, instrument yang kuat saat ini adalah uang. Kita tidak usah heran jika lebih 300 orang termasuk kepala daerah masuk dalam bursa kepemimpinan,” ujar Rinikso. Ia mengatakan ada permasalahan yang sangat substansi pada korupsi. Ada yang mengatakan iman, pendidikan, namun juga banyak orang yang terlihat religious dan berpendidikan tinggi namun juga korupsi. Menurut Rinikso, birokrasi menjadi kata kunci dalam penanggulangan korupsi di Indonesia. Sistem politik kita sadar tidak sadar adalah demokrasi capital, yaitu demokrasi yang berbasis pada uang, jika tak ada uang biasanya akan berkolaborasi dengan bossism.
Dr Busyro Muqoddas, mantan wakil ketua KPK, mengatakan ada hubungan timbal balik antara demokrasi dan korupsi. Di era presiden Jokowi, ada factor determinan oligarki politik dan oligarki taipan terhadap produk politik. Turunnya indeks persepsi demokrasi parallel dengan turunnya tiga digit indeks prestasi korupsi di era Jokowi dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menjadi indikasi pembusukan demokrasi ini selaras dengan makin tingginya korupsi. Demokrasi yang terjadi di Indonesia juga merupakan transaksi nasional. Demokrasi transaksional ini memerlukan prasyarat. Yang pertama adalah floating mass, masyarakat diambangkan, dibuat terombang-ambing dalam ketidakjelasan terkait isu-isu korupsi, bisnis narkoba dan isu lainnya. Pembunuhan KPK dan SDM menuju Pemilu 2024 adalah prasyarat berikutnya bagi demokrasi transaksional ini. Dan hal itu terjadi saat ini. Selain itu intensitas represivitas keamanan seperti terror, hoax radicalism, isu intoleran dan gerilya buzzer adalah indikasi demokrasi transaksional berikutnya.
Feri Amsari, SH, MH.LLM, dalam upaya konteks pemberantasan korupsi serangan balik para koruptor ini adalah sebuah keniscayaan. “Setiap tahun KPK diserang oleh koruptor, hal ini menurut saya adalah indikasi sederhana yang positif karena berarti KPK masih di jalurnya. Tapi besok jika KPK yang akan datang ini menambah anggaran, ini agak mencurigakan karena kok tiba-tiba akrab dengan DPR dan pemerintah,”ungkap Feri.
Feri juga mengulas ketidakjelasan posisi KPK. “KPK itu sebenarnya jenis lembaganya apa, karena di Indonesia hanya tiga jenis Lembaga eksekutif, yudikatif dan legislative. KPK ini masuk dalam Lembaga apa? KPK di Indonesia “dipaksa” menjadi eksekutif,”imbuhnya Menurut Feri Amsari, agar KPK tidak mudah diserang balik oleh koruptor maka harus diletakkan dalam konstitusi. Jika tidak dimasukkan dalam konstitusi maka setiap tahun KPK akan diganggu dengan perubahan-perubahan melalui legislatif. Hanya di era Jokowi yang ada upaya untuk melakukan pengubahan pada undang-undang KPK. “Dalam perspektif Hukum tata Negara, ketika ada perubahan undang-undang KPK berlangsung dengan cepat maka bisa dipastikan bahwa keterlibatan presiden dalam perubahan undang-undang KPK secara serius,”tambahnya.
Feri mengatakan ada banyak langkah krusial jika presiden Jokowi ingin menguatkan KPK. Salah satunya adalah pemberian kewenangan yang memadai adalah salah satu cara untuk menguatkan KPK. KPK berhadapan dengan mafia namun KPK tidak dibekali senjata, sehingga jika ingin melindungi KPK beri kekuatan untuk melindungi diri. Ini lebih rasional. Namun penambahan kewenangan justru tidak terjadi pada undang-undang KPK namun yang terjadi adalah pengurangan kewenangan KPK. Alih status pegawai KPK menjadi ASN adalah salah satu upaya pelemahan KPK.
Kasus tokoh-tokoh yang tidak lolos TWK akan dianggap tidak pancasilais, sehingga akan menimbulkan stigma negative pada mereka. Harus ada gerakan untuk menolong orang-orang baik yang terkena labelling negative tersebut. Kita ini sedang dalam ancaman korupsi yang nyata, semua harus bergerak untuk menyelamatkan KPK.
Prof Azumardi Azra mengungkapkan bahwa gonjang-ganjing KPK ini adalah salah satu pertanda jelek yaitu negative legacy dalam sebuah pemerintahan, dalam hal ini pemerintahan Jokowi. Kasus KPK sekarang ini menyempurnakan negative legacy pemerintahan Jokowi. Seharusnya di periode kedua ini Jokowi habis-habisan untuk meninggalkan positive legacy (warisan positif). Apa yang terjadi akhir-akhir ini terkait KPK ini menjadi puncak dari negative legacy, ini sudah menjadi kemorosotan. “Saat ini kebebasan berekspresi semakin hilang, gawai nya diganggu, ada penangkapan tokoh-tokoh yang vocal. Jika presiden Jokowi ingin menguatkan demokrasi ya bebaskan ornag-orang yang mengkiritik itu. Karena negara ini harus dibangun oleh kebebasan berekspresi, bebas menyampaikan kritik, bukan saja oleh orang-orang yang selalu setuju dengan pemerintah,”ungkap Azyumardi Azra.
Menurut guru besar peraih gelar commander of The Order of British Empire kondisi saat ini adalah oligarki dinasti. Koalisi politik yang saat ini yang mengorbankan demokrasi, adalah koalisi besar yang terjadi antara yudikatif, eksekutif dan legislative. POlitik saat ini mengarah ke trading atau tukar menukar. Negative legacy berikutnya adalah semakin melemahnya civil society. Orang-orang yang aktif dalam civil society kemudian masuk ke kekuasaan menjadi bergeser integrasinya.
Menurunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah adalah indikasi negative legacy berikutnya, ini menjadi indeks kerentanan social. Yang meningkat hanya kohesi social, kepedulian pada sesama pasca covid. Semua produk juga saat ini juga akan dikenakan pajak. “Yang bisa kita lakukan adalah menyalakan harapan, walaupun saya melihat tidak ada perubahan atau perbaikan pada KPK ini. Presiden Jokowi juga tidak merespon suara dari 75 guru besar yang mengkritisi kasus KPK ini. Saya tidak melihat KPK ini akan dipulihkan kekuatannya. Walaupun kondisinya pahit, ya biarkan saja KPK seperti itu, meski kerjanya tidak memuaskan, sambil menunggu harapan baru 2024,”ungkap Prof. Azra.(wnd)